Bogor, -HarianKarya.com – Mengawali tahun 2025, dunia konveksi di Indonesia belum menunjukkan perbaikan signifikan. Imbas krisis garmen dan serbuan produk impor murah, terutama dari Tiongkok, masih menjadi tantangan besar.
Situasi ini diperparah dengan sepinya orderan menjelang Lebaran, yang biasanya menjadi puncak produksi bagi industri ini.
Kondisi ini dirasakan oleh pelaku usaha konveksi atau Complete Make to Order (CMT) di berbagai daerah, tidak hanya di Bogor, tetapi juga di Serang, Rangkasbitung, Pandeglang, Pemalang,
Purbalingga,Kebumen, bahkan Pekalongan. Sepinya orderan Lebaran sangat dirasakan oleh para penjahit rumahan yang mengandalkan pekerjaan CMT dari pabrik atau konveksi semi garmen.
Haji Rahmat, seorang pengusaha konveksi di Cinangneng, Bogor, yang telah berkecimpung di dunia garmen selama lebih dari 20 tahun, mengungkapkan bahwa kondisi orderan saat ini masih sangat sepi. “Masih sepi, belum banyak orderan masuk,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa orderan yang ada didominasi oleh barang murah dari toko online, yang jika dikerjakan justru merugikan.
Banjir produk online di media sosial menjadi salah satu penyebab kosongnya produksi pakaian massal di level CMT. Produk-produk seperti kaos, kemeja, celana, dan gamis yang biasanya diproduksi oleh CMT kini banyak dijual secara daring dengan harga murah. Akibatnya, banyak CMT yang tidak mampu bersaing dan memilih untuk tidak menerima orderan tersebut.”Ada juga yang ngambil kerjaan online daripada gak ada kerjaan katanya, ada juga yang mending nganggur dulu ajah lah,” kata Haji Rahmat.
Ongkos jahit di Bogor yang terbilang tinggi dibandingkan daerah lain seperti Serang, Rangkasbitung, dan Pandeglang juga menjadi kendala. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pabrik garmen berorientasi ekspor di Bogor yang biasa membayar ongkos tinggi, sehingga membuat ongkos jahit di wilayah ini menjadi mahal.
Para tukang jahit di Bogor kini memiliki target penghasilan per minggu yang harus dipenuhi. Jika penghasilan tidak mencukupi, mereka lebih memilih untuk tidak bekerja dan mencari pekerjaan lain. Hal ini juga menjadi penyebab berkurangnya penjahit di konveksi Haji Rahmat.
“Kalau di Serang, Rangkas, Pandeglang sama di Jawa iya masuk harga segitu, kalo disini gak ada yang mau ngerjain, dari pada ngerjain penjahit sini mah mending nganggur jadi petani atau kuli dulu ajah,” pungkas Haji Rahmat.
Meski demikian, konveksi Haji Rahmat masih bertahan dengan mengandalkan orderan seragam sekolah, almamater, jaket, kemeja, kaos, dan gamis. Ia juga memiliki pelanggan setia dari berbagai daerah, bahkan luar Pulau Jawa.
“Biasanya seragam sekolah banyak yang dari jauh jauh bukan dari sekolah di Bogor aja, dari Banten juga ada bahkan ada yang dari luar Pulau Jawa juga,” kata Haji Rahmat.
Kualitas jahitan dan ketepatan waktu
pengiriman menjadi kunci keberhasilan konveksi Haji Rahmat. Ia selalu berusaha untuk memenuhi permintaan pelanggan dengan baik, bahkan seringkali menambah jumlah penjahit dan melakukan lembur untuk mengejar tenggat waktu.
Haji Rahmat berharap kondisi dunia konveksi dapat segera membaik. Ia juga berharap pemerintah dapat mengambil kebijakan yang efektif untuk membangkitkan sektor UMKM ini.
“Gak tau juga kapan normal lagi ini,” ungkap Haji Rahmat.
Kebijakan pemerintah untuk menghentikan impor bahan dan produk jadi dinilai sudah baik, namun belum cukup efektif untuk membangkitkan UMKM konveksi. Pengawasan dan pantauan dari pihak terkait di lapangan secara berkelanjutan dan komprehensif diperlukan untuk melihat situasi riil yang dialami pelaku UMKM.
Solusi lain tentu menjadi harapan bagi para pelaku CMT seperti Haji Rahmat dan penjahit lainnya yang menggantungkan hidupnya dari dunia konveksi. Semoga keadaan ini bisa berubah lebih baik ke depannya.
(Muchlas, Kabiro Bogor Raya)